Review Film : Java Heat


Review Film : Java Heat

Studio : IM Global/Margate House
Genre : Action, Crime, Drama
Director : Conor Allyn
Producer : Conor Allyn, Rob Allyn
Starring : Kellan Lutz, Mickey Rourke, Ario Bayu, Atiqah Hasiholan, Mike Lucock, Tio Pakusodewo


Disutradarai oleh Conor Allyn (Merah Putih III: Hati Merdeka, 2011), yang juga menulis naskah cerita serta menjadi produser film ini bersama ayahnya, Rob Allyn, Java Heat dibuka dengan berjalannya proses interogasi yang berjalan antara seorang petugas kepolisian Republik Indonesia, Letnan Hashim (Ario Bayu), dengan seorang pria misterius asal Amerika Serikat, Jake Travers (Kellan Lutz), yang dijadikan sebagai saksi dalam peristiwa pemboman bunuh diri yang telah menewaskan seorang puteri Kerajaan Jawa, Sultana (Atiqah Hasiholan). Walaupun Jake mengungkapkan bahwa dirinya hanyalah seorang turis yang datang ke Indonesia sebagai bagian pembelajaran sejarah seni negara-negara Asia Tenggara yang sedang ia dalami, namun Hashim menaruh curiga bahwa Jake memiliki keterkaitan dalam peristiwa pemboman tersebut.

Setelah melakukan beberapa penyelidikan, Hashim akhirnya mengetahui bahwa Jake adalah seorang agen rahasia Amerika Serikat yang telah menetap di Indonesia selama dua tahun terakhir untuk menemukan seorang tersangka teroris internasional. Walaupun tidak menyukai kehadirannya, namun berkat bantuan Jake, Hashim kemudian mengetahui bahwa peristiwa pemboman bunuh diri yang sedang ia selidiki ternyata melibatkan seorang pencuri perhiasan internasional, Malik (Mickey Rourke), dan bukanlah kelompok teroris Islam radikal seperti yang selama ini dituduhkan pihak kepolisian. Mau tidak mau, secara perlahan, Hashim mulai membuka dirinya untuk bekerjasama dengan Jake guna menangkap Malik.

Berpengalaman dalam menggarap trilogi Merah Putih (2008 – 2011) yang berlatar belakang kisah perjuangan masayarakat Indonesia dalam merebut kemerdekaannya, Conor dan Rob Allyn berhasil mengeksplorasi secara maksimal lokasi penceritaan yang berada di kota Yogyakarta, Indonesia sehingga tidak hanya menjadi latar belakang lokasi penceritaan belaka. Conor dan Rob mampu memasukkan unsur-unsur struktur sosial serta kebudayaan Jawa dalam jalan penceritaan Java Heat yang mampu membuat warna pengisahan film ini menjadi lebih hidup. Karakter-karakter yang dikisahkan berasal dari Indonesia juga mampu dimanfaatkan dengan baik, berpadu seimbang porsi penceritaannya dengan karakter-karakter asing sehingga tidak hanya menjadi karakter pendukung yang terasa sebagai pelengkap bagian cerita saja.

Sayangnya, meskipun begitu, harus diakui bahwa eksplorasi jalan cerita dan karakter yang dihadirkan dalam Java Heat masih tergolong lemah. Plot-plot cerita yang dihadirkan tumpang tindih gagal mendapatkan pengembangan yang layak sehingga seringkali tampil sedikit membingungkan untuk diikuti. Banyak karakter yang dihadirkan dalam jalan cerita Java Heat juga tergolong lemah penggaliannya, mulai dari karakter utama hingga karakter-karakter pendukungnya. Penonton sama sekali tidak diberikan informasi yang lugas mengenai karakter Jake Travers yang seharusnya mereka dukung setiap pergerakannya. Atau apa latar belakang karakter Malik untuk melakukan tindakan kejahatannya. Atau bagaimana beberapa pihak dapat saling berseteru satu sama lain dalam sebuah adegan. Kelemahan-kelemahan inilah – yang ditambah dengan kekurangjelian pembuat film dalam merangkai detil kisahnya seperti mengapa satu karakter berwarganegara Indonesia berbahasa Indonesia pada satu karakter dan kemudian berbahasa Inggris pada satu karakter berkewarganegaraan Indonesia lainnya – yang membuat Java Heat terasa lebih mementingkan penampilan daripada isi cerita yang berusaha untuk disampaikan.

Dari departemen akting, para pemeran utama film ini mampu tampil kuat dalam menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. Duet Ario Bayu dan Kellan Lutz secara mengejutkan mampu hadir dalam chemistry yang lugas. Keduanya tidak tampil dalam penampilan akting yang berkualitas istimewa. Namun Bayu dan Lutz berhasil untuk membuat setiap penonton percaya akan karakter yang mereka perankan. Sementara itu, Mickey Rourke juga dapat dengan baik menghadirkan karakternya yang digambarkan begitu kelam – seorang pencuri yang tega melakukan tindak kekerasan sekaligus seorang pedofil. Karakter yang diperankan oleh Rourke memang terkesan kurang tergali dengan baik. Namun penampilannya yang cukup kuat setidaknya mampu membuat kehadiran karakter yang ia perankan menjadi cukup substansial.

Kedangkalan penulisan sejumlah karakter sayangnya membuat banyak jajaran pemeran film ini hanya mampu tampil dalam kapasitas yang seadanya. Nama-nama seperti Atiqah Hasiholan, Rio Dewanto dan Tio Pakusadewo nyaris hadir dalam kapasitas yang sama sekali tidak berarti. Frans Tumbuan dan Mike Lucock sebenarnya memerankan dua karakter dengan kapasitas penceritaan yang cukup kuat untuk dieksplorasi secara mendalam – satu berperan sebagai sosok polisi yang mementingkan popularitas diri sementara yang lainnya berperan sebagai sosok Muslim radikal. Sayangnya, kedua karakter tersebut benar-benar dihadirkan terlalu dangkal dan potensi penceritaan yang mendalam dari dua karakter tersebut terbuang dengan percuma.

Jika dibandingkan trilogi Merah Putih yang sebelumnya mereka rilis, Java Heat mampu hadir dengan kualitas teknis produksi yang jauh lebih baik. Conor Allyn mampu menghadirkan tata visual yang berhasil tampil meyakinkan dalam menggambarkan berbagai adegan bernuansa kekerasan dan ledakan di film ini. Di penghujung kisah, ia juga mampu menghadirkan deretan adegan menegangkan dalam balutan keindahan Candi Borobudur yang megah. Kualitas teknis produksi yang benar-benar mampu hadir berkelas inilah yang membuat Java Heat masih layak untuk disaksikan terlepas dari banyaknya kelemahan yang terdapat pada eksplorasi jalan cerita dan karakter di film ini.

source : flickmagazine.net

Related Posts

Post a Comment