Review Film : Cinta Brontosaurus


Review Film : Cinta Brontosaurus

Studio : Starvision Plus
Genre : Comedy, Romance
Director : Fajar Nugros
Producer : Chand Parwez Servia, Fiaz Servia
Starring : Raditya Dika, Eriska Rein, Soleh Solihun, Bucek Depp, Dewi Irawan


Diangkat dari buku berjudul sama karya Raditya Dika, Cinta Brontosaurus berkisah mengenai deretan ketidakberuntungan yang dialami oleh seorang pemuda bernama Dika (Raditya Dika) ketika ia harus berhadapan dengan masalah cinta. Ketika hubungan romansanya dengan Nina (Pamela Bowie) berakhir kandas seperti deretan kisah percintaannya yang telah lalu, Dika akhirnya mendeklarasikan bahwa ia tidak akan lagi mau merasakan yang namanya jatuh cinta. Dika bahkan menyamakan perasaan cinta tersebut layaknya seekor brontosaurus yang suatu saat akan menemukan masa kadaluarsanya… dan kemudian menghilang begitu saja. Pernyataan tersebut jelas ditolak oleh sahabat sekaligus agen penerbitan Dika, Kosasih (Soleh Solihun), yang disaat bersamaan sedang menjalin hubungan romansa dengan Wanda (Tyas Mirasih). Kosasih lantas berinisiatif untuk memperkenalkan Dika dengan beberapa gadis yang dinilainya sesuai dengan kriteria pemuda tersebut.

Sayangnya, tak satupun dari deretan gadis cantik yang diperkenalkan oleh Kosasih mampu menarik hati Dika. Adalah pertemuannya yang tidak disengaja dengan seorang gadis bernama Jessica (Eriska Rein) yang justru membuat Dika kembali mempertimbangkan teori “cinta brontosaurus” miliknya. Kepribadian Jessica yang sama anehnya dengan jalan pemikiran Dika membuat hubungan mereka mampu bertambah dekat dengan demikian cepat hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk saling berpacaran. Walau merasa telah menemukan sosok yang ia cari selama ini, rasa ketakutan Dika bahwa cinta Jessica pada dirinya akan berakhir seiring dengan berjalannya waktu tidak lantas menghilang begitu saja. Ketakutan itulah yang secara perlahan kemudian mulai memberikan berbagai hambatan bagi kisah cinta Dika bersama Jessica untuk dapat berjalan lebih serius.

Jika Kambing Jantan (2009) – dimana Raditya Dika menulis naskah ceritanya bersama dengan Salman Aristo dan Mouly Surya – terasa terlalu menitikberatkan kisahnya pada sisi drama dan jauh meninggalkan bagian komedinya, maka Cinta Brontosaurus – yang naskah ceritanya dikerjakan sendiri oleh Raditya Dika – justru mencoba untuk berjalan lebih santai dengan menonjolkan kekuatan komedi dan tidak terlalu berusaha untuk menyajikan dramatisasi yang kuat. Sayangnya… Raditya Dika sepertinya belum memiliki kemampuan yang tajam untuk mengolah sebuah naskah cerita film. Cinta Brontosaurus mungkin tampil lebih lugas dalam bercerita (dan bercanda) ketika deretan guyonan yang disajikan dihadirkan dalam bentuk untaian kata-kata tertulis. Namun ketika diterjemahkan dalam tatanan audio visual, guyonan Raditya Dika terasa kurang matang dan gagal untuk menghadirkan sebuah hiburan yang benar-benar kuat.

Pada kebanyakan bagian presentasinya, Cinta Brontosaurus lebih sering terlihat sebagai sebuah kumpulan sketsa komedi bertemakan kesialan seorang pemuda dalam menghadapi berbagai problematika cinta daripada sebagai sebuah kesatuan kisah yang utuh mengenai perjalanan seorang karakternya dalam mendapatkan atau mempelajari arti dari perasaan jatuh cinta. Hal ini yang kemudian membuat film ini terasa begitu monoton dalam bercerita: menawarkan guyonan komedi (yang tak begitu lucu, sayangnya) kemudian kembali ke perjalanan cinta serta beberapa plot cerita tambahan sang karakter utama dan kemudian kembali menghadirkan guyonan (yang tak begitu lucu) lainnya. 98 menit durasi Cinta Brontosaurus hadir dalam formula tersebut secara berulangkali yang akhirnya akan terasa begitu melelahkan untuk diikuti.

Rasa kekaguman Raditya Dika terhadap Woody Allen juga beberapa kali ditampilkan lewat deretan poster bergambarkan Allen di berbagai adegan film. Namun, jangan mengharapkan bahwa atmosfer komedi romantis yang manis a la Allen mampu hadir dalam penceritaan Cinta Brontosaurus. Sama seperti kualitas komedi film ini, Raditya Dika juga kurang begitu mampu menangani sisi drama dari Cinta Brontosaurus. Lemahnya sisi drama film ini kebanyakan disebabkan oleh dangkalnya penggambaran yang dilakukan Raditya Dika terhadap karakter-karakter yang hadir dalam jalan cerita film. Hubungan antara karakter Dika dengan karakter Jessica tidak pernah mampu benar-benar tersaji dengan sempurna. Hubungan persahabatannya dengan karakter Kosasih juga terlihat kurang meyakinkan – dengan karakter Kosasih lebih sering tergambarkan sebagai sesosok karakter yang begitu annoying dalam setiap perbuatan maupun perkataannya. Sementara itu, karakter keluarga Dika – yang seharusnya dapat menjadi gambarandysfunctional family yang menyenangkan atau menghibur – gagal mendapatkan bagian penceritaan yang lebih mendalam dan lebih sering terlihat sebagai pelengkap cerita belaka.

Fajar Nugros mungkin tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan naskah cerita Cinta Brontosaurusyang terlanjur terlalu dangkal tersebut. Walaupun begitu, Fajar Nugros jelas memiliki kesempatan untuk memperbaiki kualitas presentasi keseluruhan film ini dengan menghadirkannya dalam ritme penceritaan yang tepat maupun pengarahan akting yang lebih kuat. Sayangnya, hal tersebut tidak terjadi dalam hasil kualitas akhir Cinta Brontosaurus. Dengan jalan penceritaan yang terkesan sebagai sebuah potongan-potongan komedi yang tidak pernah benar-benar mampu menyatu satu sama lain, pilihan untuk menghadirkan Cinta Brontosaurus dalam tempo penceritaan yang sederhana justru membuat film ini terkesan terlalu bertele-tele dalam bercerita. Pengarahan Fajar Nugros terhadap para pemerannya juga terkesan terlalu lemah dengan banyak diantara para pemeran film ini terlihat terlalu santai dalam penampilannya sehingga gagal menghasilkan chemistry yang kuat dengan para pemeran lainnya.

Sebagai seorang aktor, Raditya Dika sepertinya telah mengetahui batas kemampuan drama yang ia miliki. Karakter Dika yang ia hadirkan dalam Cinta Brontosaurus – dan juga dalam Kambing Jantan – jelas merupakan kapasitas akting penuh yang dapat dihadirkannya. Masih terlihat terbatas dalam beberapa bagian namun jelas mengalami pengingkatan dari debut penampilan aktingnya di Kambing Jantan. Tampilan akting paling lemah dalam film ini justru datang dari Eriska Rein yang terlihat kaku dan dengan chemistry yang begitu lemah dengan Raditya Dika serta Soleh Solihun yang…well… hadir datar di sepanjang penampilannya di film ini. Bukan kesalahan para pemeran secara keseluruhan mengingat karakter-karakter yang hadir dalam jalan cerita Cinta Brontosaurus memang begitu terbatas kapasitas penceritaannya – kapasitas yang membuat nama-nama pemeran seperti Dewi Irawan dan Meriam Bellina yang biasanya selalu mampu tampil memukau kali ini hadir dalam penampilan yang begitu lemah.

Terlepas dari kualitas guyonan dan jalan cerita yang sepertinya lebih difokuskan untuk dapat dinikmati oleh kalangan penonton yang berusia jauh lebih muda, Cinta Brontosaurus harus diakui hadir dalam berbagai plot komedi klise yang gagal untuk dikembangkan dengan baik. Pengembangan cerita dan karakter yang dangkal itulah yang membuat Cinta Brontosaurus – yang diparuh awal penceritaannya mungkin masih mampu tampil menghibur, lama-kelamaan mulai terasa begitu bertele-tele dalam bercerita, membosankan dan berakhir dengan kehilangan daya tariknya sama sekali. Bukan sebuah presentasi keseluruhan yang sangat buruk namun jelas terasa membuang begitu banyak potensi yang sebenarnya dapat diolah untuk membuat Cinta Brontosaurus menjadi sebuah sajian komedi yang memikat.

source : flickmagazine.net

Related Posts

Post a Comment